Monday, June 18, 2007

BUDAYA RUPA

INDONESIA MODERN

BUDAYA RUPA INDONESIA MODERN

Oleh : aslam b. umm

A. Seni Rupa Modern

Seni rupa modern di Indonesia, awalnya dikembangkan oleh orang-orang Belanda yang datang ke Indonesia. Perkembangan gaya yagn terjadi merupakan perpanjangan gaya abad pertengahan dan romantisme yang berkembang di Eropa abab ke -18. Di dalam perkembangan dunia seni rupa Indonesia secara umum, terdapat dua tokoh penting yaitu Raden Saleh Bustaman dan Raden Ajeng Kartini. Karya-karya rupa yang dihasilkan oleh dua pribumi ini telah diakui merupakan pionir yang membuka khasanah nilai-nilai estetik modern di zamannya.

1. Raden Saleh Perintis Seni Rupa Modern

Raden Saleh lahir tahun 1807, dari seorang ibu Mas Adjeng Zarip Hoesen. Sejak usia 10 tahun ini diserahkan oleh pamannya. Sewaktu di Sekolah Rakyat (Volks-School) saat guru mengajar, Raden Saleh malah menggambar diatas buku tulisnya, tetapi gurunya tak merah, karena kagum melihat gaya karya muridnya yang cukup baik.

Kepandaiannya bergaul kemudian memudahkannya masuk ke lingkungan orang-orang Belanda dan lembaga-lembaga elit Hindia-Belanda. Seorang kenalannya, Prof. Caspar Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian dan Ilmu Pengetahuan untuk wilayah Jawa dan pulau sekitarnya. Kebetulan di instansi itu ada pelukis keturunan Belgia, A.A.J. Payen yang didatangkan dari Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di pulau Jawa. Ertarik pada bakat Raden Saleh, Payen berinisiatif memberikan bimbingan. Payen memang bukanlah seniman terkemuka di dunia seni lukis Belanda. Namun, manta mahaguru Akademi Seni Rupa di Doornik, Belanda ini cukup membantu Raden Saleh menyelami seni lukis barat dan belajar teknik pembuatannya, seperti teknik melukis dengan cat minyak. Terkesan dengan bakat luar biasa anak didiknya, Payen mengusulkan agar Raden Saleh bisa belajar ke Belanda. Usul ini didukung oleh Gubernur Jenderal Van Der Capellen yang memerintah waktu itu (1819-1826), setelah ia melihat karya lukisan Raden Saleh yang dikerjakan dengan dukungan bakat yang tinggi.

Bersama dengan dipatahkannya perlawanan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal de Kock, van der Capellen membiayai Raden Saleh untuk belajar melukis ke negeri Belanda. Selama perjalanan ke Belanda Raden Saleh bertugas mengajari Inspektur Keugnang Belanda de Linge tentang adat-istiadat dari kebiasaan orang Jawa, bahasa Jawa, dan bahasa Melayu. Hal itu menunjukkan kecakapan lain yang luar biasa dari Raden Saleh yang diakui oleh pemerintah Belanda.

Semasa belajar di Belanda keterampilan melukisnya berkembang pesat. Wajar bila Raden Saleh dianggap saingan berat sesama pelukis muda Belanda yang sedang belajar. Selanjutnya, Raden Saleh makin mantap memilih seni lukis sebagai jalur hidup. Ia mulai dikenal di lingkungan seniman Belanda, malah berkesempatan berpameran di Den Haag dan Amsterdam. Melihat lukisan Raden Saleh, masyarakat Belanda terperangah.

Saat masa belajar di Belanda usai, Raden Saleh mengajukan permohonan agar boleh tinggal lebih lama untuk belajar “wie, land, meet, en werkutigkunde (ilmu pasti, ukur tanah, dan pesawat), selain melukis. Saat pemerintahan Raja Willem II (1792-1849) ia mendapat dukungan serupa. Beberapa tahun kemudian ia dikirim ke luar negeri untuk menambah ilmu, seperti Dresden, Jerman. Di sini Raden Saleh tinggal selama lima tahun dengan status tamu kehormatan Kerajaan Jerman. Ia kembali ke Belanda tahun 1844, kemudian menjadi pelukis istana kerajaan Belanda.

Tapi, jiwa seninya belum terpuaskan. Perkembangan seni lukis Belanda, menurut pendapatnya, tidak memiliki karakter yang unik, tetapi selalu menyerap aliran seni Perancis. Wawasan seni Raden Saleh semakin berkembang seiring dengan terbitnya kekaguman pada karya tokoh Romantisme. Kekagumannya pada Delacroix itulah yang dinilai banyak orang menjadi inspirasi karya-karya Raden Saleh kemudian. Ciri Romantisme muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh namun disajikan lebih dinamis. Gambaran keagungan sekaligus kekejaman, cerminan harapan (religiositas) sekaligus ketidakpastian takdir menjadi tema lukisannya selama berada di Eropa.

Saat di Eropa Raden Saleh menjadi saksi mata terjadinya Revolusi Februari 1848 di Paris, yang mau tak mau mempengaruhinya dirinya. Dikawan inilah lahir ilham untuk melukis kehidupan satwa di padang pasir. Pengembaraan di Eropa berakhir tahun 1851.

Tahun 1875 Raden Saleh berangkat lagi ke Eropa bersama istrinya dan baru kembali ke Jawa tahun 1878. Selanjutnya, ia menetap di Bogor sampai wafatnya pada 23 April 1880. Untuk memperingati tiga tahun wafatnya diadakan pameran-pameran lukisan Raden Saleh di Amsterdam.

Berkat jasa Raden Saleh, bangsa Indonesia dapatlah berbangga melihat karya anak bangsa menerobos museum akbar seperti Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda, dan dipamerkan di museum bergengsi Louvre, Paris, Perancis. Setelah masa Raden Saleh tidak tercatat pelukis pribumi yang mengikuti jejaknya, sehingga terdapat ruang kosong dalam perkembangan seni rupa modern.

Pelukis pribumi yang menerapkan teknik dan gaya yang lebih modern di zamannya setelah Raden Saleh adalah R.A Kartini dan adiknya R.A Kardinah. Pandangan yang modern dan radikal menunjukkan adanya pemahaman ke arah berpikir yang lebih maju dalam bidang kesenian. Lukisan R.A Kartini yang berupa pemandangan di sebuah kolam dan Dua Ekor Angsa menunjukkan model melukis wanita pribumi ini.

Dalam periode yang sama dengan Raden Saleh hingga R.A Kartini di atas juga terdapat sejumlah pelukis Belanda dan bangsa Eropa yang b berkarya di Indonesia. Diantara pelukis-pelukis tersebut A.A.J.Payen (guru menggambar Raden Saleh), C. de Wilde, J.D. van Herwerden, W.C.C. Blekman, dan sejumlah pelukis lainnya.

2. Masa Indonesia Cantik (Mooi Indei)

Sejak kehadiran sejumlah pelukis Eropa khususnya dari Belanda. Di awal abad ke-20, komunitas penggemar lukisan pemandangan alam terdiri dari para saudagar, pengusaha, pegawai pemerintah, wisatawan dan meluas ke lapisan masyarakat bawah. Hal ini menimbulkan tumbuhnya masyarakat seni modern yang mengapresiasi keindahan alam tanah air.

Para pelukis Belanda di Indonesia ini umumnya adalah pelukis potret otodidak, kerap disebut pelukis salon. Hingga kini tetap hidup di kalangan para pelukis otodidak, dan menjadi Komoditi yang dijual di hotel-hotel mewah.

3. Realisme dari Tumbuhnya organisasi seniman

Awalnya gaya modern yang menjadi wacana dunia estetik di Eropa ini tidak menjadi perhatian para pelukis pribumi. Gejalanya baru tampak pada pelukis pribumi sekitar tahun 1930-an, diantaranya Agus Djaja sebagai ketua, S. Sudjojono, Abdul Salam, Sumitro, Sudibio, Sukirno, Suromo, Surono, Setyosa, Herbert Hutagalung, Syoeaib, Emiria Sunasa dan lainnya.

Di antara mereka yang berperan cukup penting adalah S. Sudjojono, Agus Djaja, dan Affandi yang kemudian memunculkan sejumlah pelukis muda di antaranya Otto Djaja, Henk Ngantung, Hendra Gunawan, Djajengasmoro, Kartono Yudhokusumao, Kusnadi, Sudjana Kerton, Trubus, Baharuddin dan sejumlah seniman lainnya. Secara progresif mendukung perjuangan untuk mengusir sisa-sisa kolonialisme Belanda dari bumi Indo

Gaya dan muatan estetik karya seni rupa pada masa berikutnya memiliki kecenderungan : pertama, mengungkapkan objek secara emosional (realisme). Kedua, lukisan yang lahir dari dunia fantasi berupa citra. Ketiga, memiliki kecenderungan bersifat dekoratif dan kerap bersifat dua dimensional seperti lukisan tradisional Bali.

4. Realisme kerakyatan di Yogyakarta

Kepindahan ibu kota ke Yogyakarta, sejumlah pelukis juga ikut hijrah ke Yogyakarta. Banyak berkarya dengan tema-tema perjuangan. Para pelukis yang tinggal di Yogyakarta ini mulai melukis dengan tema-teman yang mengkritik perkembangan keadaan sosial yang timpang. Pelukis Yogya dikenal sebagai Realisme Kerakyatan. Ada pula yang menyebutnya sebagai Realisme Sosial.

Para pelukis tersebut mendirikan organisasi seniman yang dikenal sebagai ‘Pelukis Rakyat’. Organisasi ini semakin berkembang karena memiliki hubungan erat dengan tokoh pemerintahan. Selain itu, perkumpulan ini pun memiliki hubungan yang erat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Lembaga ini amat berpengaruh dalam menentukan arah kebudayaan nasional.

Kepedulian para seniman Yogyakarta terhadap penderitaan masyarakat amatlah tinggi, para periode selanjutnya ‘jiwa kritis’ yang telah menjadi ciri seniman Yogya pada umumnya tetap tumbuh ada sejumlah seniman generasi baru.

5. Mazhab Bandung

Sejak didirikannya Balai Pendidikan Guru Gambar di lingkungan Technische Hogeschool (sekarang ITB) pada tahun 1949 di Bandung, berkembanglah seni rupa lingkungan akademis. Para mahasiswa melakukan eksperimen dengan merombak objek lukisan ke menjadi pola geometris dan membagi-bagi bidang datar sesuai dengan komposisi garis dan warna. Gaya semacam ini juga kemudian menjadi ciri khas para pelukis yang belajar di ITB. Pelukis beraliran Realisme dianggap sebagai gaya estetis hasil ‘Laboratorium Barat’.

Selanjutnya, berkembang gaya abstrak di lingkungan seniman ITB. Gaya ini dapat dikatergoikan atas dua kelompok. Pertama gaya abstrak tanpa objek, tetapi lebih menekankan kepada olah bahasa rupa dan imajinasi si pelukis. Kedua adalah abstrak non-figuratif, berupa bentuk-bentuk figur yang mengalami pengabstrakan.

Gaya seni abstrak, meskipun tak sepenuhnya merujuk pada gaya yang dikembangkan oleh Achmad Sadali, sempat menjadi kecenderungan para pelukis akademik di kota Bandung. Hal itu seperti terlihat pada lukisan A.D. Pirous, Umi Dachlan, dan Heyi Makmun sebagai generasi yang lebih muda. Di era 1970-an, para pelukis Bandung mengembangkan gaya abstrak tersendiri yang lebih ekspresif dengan objek yang masih dapat “terbaca”.

“Modernisme” di Bandung atau “Mazhab Bandung” dalam dunia kesenirupaan generasi berikutnya, mencoba mengawinkan antara unsur geometris dengan citra tradisional, unsur mistis dan material alami. Hal itu bisa terlihat pada diri Sunaryo dengan pencitraan “Irian”, Hariadi Suadi dengan pencitraan “Cirebonan”, Sutanto dengan karya grafis bercitra mistis, serta Setiawan Sabana dengan unsur pelapukan dan citra material alam.

6. Gerakan seni rupa baru dan seni kontemporer.

Kelompok Seni Rupa Baru yang memiliki cita-cita bahwa seni rupa harus menyuarakan memiliki cita-cita bahwa seni rupa harus menyuarakan lingkungannya. Kelompok ini, prinsipnya menentang sikap spesialisasi dalam karya seni rupa dan semua cabang seni rupa yang selama ini dikenal termasuk desain. Reaksi ini melebar ke persoalan yang luas, termasuk kritik berhadap sistem pendidikan seni rupa yang telalu “elitis” dan “feodalis”.

Ungkapan dan ekspresi kelompok seni rupa baru menampakkan idiologi dua orang Tokohnya, yaitu Sanento Yuliman dan Jim Supangkat sewaktu-waktu mengasuh Galeri Aktuil pada majalah masuk “AKtuil. Secara konseptual, cita nasionalisme juga diungkap meskipun terbatas pada dalam bentuk verbal. Hal ini diutamakan melalui jurus-jurus gebrakan seni rupa baru Indonesia yang menyatakan : penentangan terhadap pendapat yang menyatakan bahwa perkembangan seni rupa Indonesia tergantung pada seni rupa luar negeri dan menentang habis-habisan bahwa seni rupa Indonesia merupakan bagian dari sejarah seni rupa dunia.

7. Seni rupa Bali modern

Seni rupa Bali tradisional merupakan wajah seni rupa Indonesia yang khas dan perkembangannya sangat mantap. Sejak kehadiaran Bonet dan terbentuknya Pita Maha, seni rupa di Bali tak lepas dari upaya-upaya pengembangan bentuk seni rupa modern. Meskipun demikian, para legendaris pelukis Bali seperti Cokot dan Lempad tetap merupakan inspirasi yang tak henti-henti bagi perkembangan seni rupa modern di Bali.

B. Desain Modern di Indonesia

Sejak penjajahan Belanda mulai memasuki babak baru dalam sejarah Indonesia, di rentang abad ke-18 dan paruh pertama abad ke-20, pembangunan fisik secara intensif mulai dilakukan sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat Belanda akan permukiman. Sebagai catatan penting, di Eropa pada abad ke-18 dan ke-19 sedang mengalami tahap pembentukan diri dan perubahan melalui Revolusi Perancis dan R evolusi Industri. Terdapat dua tokoh pribumi yang menjadi perintis berkembangnya desain modern, Raden Saleh dan R.A. Kartini disamping merupakan seorang pemuang dan seniman, juga menghasilkan banyak karya yang berkaitan dengan cikal bakal tumbuhnya desain modern kelak.

1. Raden Saleh dan R.A Kartini sebagai Perintis Desain Modern.

Disamping dikenal sebagai tokoh pelukis pribumi, ilmuwan dan pejuang budaya, Raden Saleh Bustaman (1814-1880) juga melakukan kegiatan perancangan, baik dalam bentuk karya grafis, pakaian, hingga perancangan bangunan. Gaya arsitektur yang ditampilkan oleh Raden Saleh diindikasi sebagai paduan antara gaya Gotik (jendela), Ionik (pilaster), elemen estetik bergaya Gotik Baru.

Raden Saleh, telah memiliki bakat menggambar sebelum mengikuti pendidikan di beberapa negara Eropa. Ia pun mampu menggambar peta yang rumit, memiliki dasar pengetahuan ilmu ukur dan kepakaan persepsi, disamping menguasai teknik kaligrafi (arsip J.C. Baud, Algemeen Rijksarchief, no. 181, Nederland). Sepulang ke Indonesia pada tahun 1851, ia menjadi tokoh yang memiliki pemikiran modern dikalangan pribumi, jauh sebelum tokoh-tokoh kebangsaan mencetuskan Boedi Oetomo. Dalam bidang intelektual yang dicerminkannya sebagai peneliti flora-fauna yang kemudian diangkat menjadi anggota kehormatan masyarakat ilmiah Batavia.

Raden Ajeng Kartini yang lahir pada tanggal 21 April 1879, ayahnya bernama RMAA Sosroningrat keturunan keluarga priyayi Tjondornegoro yang pernah menjabat bupati di beberapa tempat di pantai utara Jawa : Surabaya, Pati, Kudus dan Demak.

Dalam diri Kartini telah tumbuh proses penyandaraan pentingnya pemberdayaan perempuan Jawa dan pentingnya pendidikan bagi kaumnya. Pemberontakannya dilakuan dalam bentuk surat kepada teman-temannya orang Belanda. Diantaranya adalah Abendanon, seorang pegawai tinggi di Batavia yang menangani bidang pendidikan, yang kemudian sangat tertarik kepada pandangan Kartini yang mengamati kebebasan kaum wanita di Barat. Abendanon, kemudian menerbitkan surat-surat Kartini tersebut di bawah judul “Habis gelap terbitlah terang” (Van Duisternis tot Licht) pada tahun 1912.

Ide-ide kesataran gender yang digagas oleh Kartini tersebut adalah wujud nyata adanya upaya pemberdayaan dari kaum perempuan Indonesia untuk mengangkat harkatnya yang tertindas karena tradisi Jawa. Salah satu upaya Kartini lainnya ialah dengan mendirikan sekolah “kepandaian” putri.

Selain memiliki kecakapan dalam menulis surat, Kartini juga memiliki kecakapan dalam membantik dan menggambar. Ragam hias yang dirancang Kartini untuk berbagai barang yang akan dikirim ke negeri Belanda disebut sebagai motif “lunglungan bunga” dan ragam hias ini amat digemari oleh masyarakat, sehingga disebut sebagai ragam hias “Jepara Asli”.

Dikarenakan permintaan yang cukup besar dari Belanda, Kartini mencoba mengelola industri kecil kerajinan kayu yang hasilnya siap diekspor. Meskipun belum terlaksana secara penuh, tetapi gagasan untuk mendirikan industri dengan memperkerjakan pegawai lebih dari lima puluh orang merupakan Rintisan jenis industri serupa seperti sekarang ini dan baru berkembang beberapa tahun sesudah Kartini wafaf.

2. Modernisasi dan pengaruhnya

Di abad ke-19 pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, pemerintah kolonial juga melakukan perbagai program moderninsasi sarana fisik dan industri untuk keperluan kegiatan kolonialisasinya di Indonesia. Gaya estetik yang menjadi trend dalam dunia desain profesional, juga berpengaruh kepada pendidikan arsitektur, seni dan desain di Eropa, termasuk di negeri Belanda sendiri.

Sejak pelaksanaan Politik Etis awal abad ke-20, kaum pribumi diberi kesempatan memperoleh pendidikan modern. Awal abad ke-20 merupakan satu fase penting dalam perkembangan desain di Indonesia, karena semakin banyak perancang Belanda yang berkarya di Indonesia, baik perancang grafis, perancang produk, perancang kota, bahkan seniman-senimannya. secara garis besar terdapat dua klasifikasi perancang modern (arsitek) Belanda yang datang ke Indonesia.

Dalam memadukan konsep Barat dan Jawa, menurut Schoemaker, disamping pertimbangan alam, si arsitek juga perlu memahami falsafah yang menyertainya. Sehingga, konsep bangunan rasional dari Barat jika dipadukan dengan konsep bangunan Jawa, tidak menciptakan perbenturan nilai-nilai, baik fungsi maupun dengan lingkungannya. Program modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial berjalan terus.

Di era setelah kemerdekaan, terutama pada paruh ke dua tahun 1950-an, program modernisasi berlanjut untuk pembangunan gedung-gedung, hotel, dan berbagai prasarana. Gaya desain yang menyertai pembangunan tersebut umumnya menghadapi gaya internasional yang menjadi trend di negara-negara maju.

Penerapan gaya modern, khususnya gaya internasional semasa pemerintahan Orde Baru tetap berlangsung sejalan program pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah, terutama pembangunan gedung-gedung tinggi.

3. Munculnya gaya Art Deco di Indonesia

Muncul pula gaya Art Deco di Eropa sebagai bagian dari sejarah Modernisme dunia sekitar tahun 1930-an. Penerapan gaya Art Deco tersebut tampak “asing” di lingkungan bangunan-bangunan yang sudah ada di sekitarnya.

Salah satu tonggak penting perkembangannya gaya Art Deco di Bandung yang dikenal sebagai pusat pertumbuhan arsitektur modern adalah dipugarnya hotel bergaya Romantik di Bandung (hotel Homan) menjadi hotel modern dengan gaya Art Deco yang dirancang ulang oleh arsitek Aalbers dan de Waal pada tahun 1939. Dibanding dengan kota-kota lainnya di Indonesia, kota Bandung-lah yang dianggap sebagai museum arsitektur pada waktu itu.

4. Politik pembangunan dan serapan budaya barat.

Modernisme yang berkembang di awal abad ke-20 di Indonesia, mengalami berbagai pengembangan. Beberapa di antaranya yang cukup penting antara lain seperti berikut ini.

a. Gaya jengki

Setelah maraknya gaya Art Deco di Indonesia, perkembangan berikutnya adalah gaya Streamlining (bentuk yang serba melancip). Ada yang menyebutnya sebagai gaya Streamline Deco (paduan antara gaya Art Deco dengan gaya Streamlining), dan ada pula yang menyebutnya sebagai gaya jengki (pengindonesian dari Yan Kee). Gaya Jengki, di Indonesia berkembang sekitar satu decade, setelah itu secara bertahap digantikan oleh gaya baru yang sedang digemari pula di berbagai belahan dunia.

b. Pengaruh politik dan tumbuhnya ‘Heroisme’

Semenjak tahun 1950-1960-an, Nasionalisme yang dikumandangkan oleh Soekarno sebagai presiden Republik Indonesia pertama, secara ideologis juga masuk ke dalam dunia desain. Bagi Soekarno, Jakarta harus merupakan kota yang menimbulkan cita-cita bangsa merdeka yang bermartabat. Oleh karena itu, gagasan “mercusuar’ dapat diibaratkan sebagai character building.

Saat itu bersamaan dengan ditunjukanya Indonesia menjadi tuan rumah pesta olah raga Asia, Asian Games V pada tahun 1962. Pemerintah banyak mengundang tenaga-tenaga ahli dari luar negeri se bagai Pendamping ahli-ahli teknik Indonesia.

Sejak tahun 1960-an, semasa pemerintahan Soekarno, terdapat upaya-upaya untuk membangun jati diri bangsa dan membangun semangat kejuangan, baik dalam bentuk patung patung monumental dengan sosok pejuang ataupun profil yang mengekspresikan semangat. Pada masa pemerintahan Soeharto, ideologi pembangunan merupakan tema penting pada karya rupa dan desain. Ideologi ini juga terlihat pada usaha-usaha pemerintah meningkatkan industri kecil, eksport non-migas, festival nasional, dan berbagai objek penting sebagai monumen keberhasilan (seperti penganugerahan : piala Prasarnya Purnakarya Nugraha, Kalpataru, dan lain sebagainya).

c. Tradisi inovasi

Gaya modern dalam desain, tidak hanya pada bentuk bangunan dan barang-barang saja tetapi juga melingkupi berbagai karya rupa yang melibatkan inovasi teknologi tinggi maupun karya rupa keseharian. Antara lain seperti dibawah ini.

1) Pesawat terbang

2) Mobil dan kereta api

3) Kapal laut

4) Produk elektronik

5) Busana dan alat rumah tangga

6) Kerajinan modern

5. Tumbuhnya eklekfisisme

Eklektisisme awalnya merupakan puncak kompetisi aneka jenis produk berkembang tahun 1749 di Inggris, yang mengakibatkan perluasan pabrik untuk memproduksi barang dengan saka yang lebih besar lagi serta harga jual rendah. Pada akhir abad ke-18, gaya ini dianggap sebagai satu gaya yang menguntungkan secara komersial. Eklektiksisme memiliki semangat untuk mencampuradukan dan menggado-gadokan semua unsur yang kebetulan disenangi. Di Indonesia, eklektisisme tumbuh rasa alamiah sebagai bagian dari industri pembuat barang dan arsitektur, baik semasa pemerintahan kolonial, maupun pemerintahan sesudah kemerdekaan.

6. Produk massa dan pengaruh budaya pop

Masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia dengan gencar, terutama kebudayaan POP yang melanda kaum muda pada tahun 1960-an, mempengaruhi kaum muda secara fanatik. Di negara Barat, gejala gerakan kaum muda ini ditandai oleh fenomena sosial yang disebut Gempa kaum muda (Youthquake) yang menolak batasan nilai, keotoriteran, dekadnesi moral, kesewenang-wenangan, kemapanan dan melakukan aksi Pemberontakan. Beberapa dari tampilan gaya hidup para pemusik tersebut ditiru dan dikembangkan menjadi bentuk gaya pop tersendiri yang kemudian tumbuh di Indonesia.

Perkembangan gaya pop pada produk massa umumnya dicangkok dari berbagai produk buatan Jepang dan Eropa yang diimpor. Pada masa tersebut gaya Pop-Modernisme sedang melanda negara-negara itu. Dengan demikian, penyerapan kebudayaan Pop pun semakin luas dan bahkan telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari.

7. Demam Posmodern

Gaya postmodern di Indonesia yang kemudian dikenal sebagai gaya Posmo mulai bermunculan ketika para mahasiswa desain produk FSRD di ITB, secara tiba-tiba pada tahun 1986 mendesain karya-karya dengan penerapan gaya “Memphis” dengan bentuk unik.

Baru pada awal decade 1990-an, gaya ini mulai meluas diadopsi oleh para arsitek desainer profesional. Demam “Posmo” lebih luas terjadi pada pengaruh kedua decade 1990-an ketika terjadi perdebatan para budayawan tentang ‘Wacana Postmodern’ di pelbagai media. Ciri utama gaya Posmo di Indonesia bentuk yang besar, menerapkan aneka gaya, penerapan warna meriah, dan juga disertai hiasan dengan pelbagai ragam ornamen.